Kamis, 25 Desember 2014

Sengketa Keuangan Syariah, Hakim Agama Juga Mengerti

Pengadilan agama terus melakukan perbaikan dengan mempercepat proses penetapan putusan khususnya dalam bidang keuangan syariah, sebab tidak jarang pengadilan agama jadi kambing hitam penghambat perkembangan ekonomi syariah.

Padahal, kata Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Edi Riadi, awal persoalan biasanya disebabkan dari akad yang tidak benar. Karena itu, standar akad penting ada, termasuk sinkronisasi undang-undang oleh Dewan Pengadilan Rakyat (DPR), sebab pengadilan hanya menunggu kasus yang masuk. Perkara ekonomi syariah yang masuk pengadilan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 terdapat 7 kasus, 2008 6 kasus, 2009 12 kasus, 2010 13 kasus, 2011 11 kasus, 2012 28 kasus dan 2012 16 kasus.

Untuk melengkapi dan meningkatkan kapasitas, sejak tahun 2007 hingga 2014 sudah ada 40 hakim yang studi banding ke Mesir, Sudan, Pakistan, Malaysia dan Inggris. 80 hakim mendapatkan pendidikan di Riyadh, Arab Saudi dan 400 hakim disertifikasi ekonomi syariah yang bekerja sama dengan BI dan OJK. Sudah ada pula 2.250 hakim yang mengikuti penataran oleh pendidikan tinggi agama untuk pembekalan ekonomi syariah. Meski bukan proses sertifikasi, proses ini tetap bekerja sama dengan BI dan OJK.

Untuk mendukung akses masyarakat, penyiapan sarana seperti pemugaran gedung dan website dilakukan. Sayang, tidak pastinya status kerja tenaga teknologi informasi di pengadilan agama membuat SDM bidang itu banyak berkurang. ''MA kurang memerhatikan mereka sehingga banyak mereka yang mengundurkan diri, website jadi tidak update,'' kada Edi dalam Seminar Standardisasi Akad dan Sengketa Bisnis Syariah di Islamic Banking and Finance Institute, Universitas Trisakti, Kamis (20/11/14).

Review Kebijakan dan Standar Internasional Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Setiawan Budi Utomo mengatakan sudah ada standarisasi kompetensi hakim agama yang menangani sengketa keuangan syariah. Prosesnya berupa sertifikasi, pendidikan dan pelatihan, setidaknya sudah sekitar 300 hakim yang sudah disertifikasi. Nanti akan terlihat pula dari putusan-putusan yang mereka buat, apakah profesional atau tidak.

''Selain itu, masyarakat juga perlu dipahamkan hakim agama dulu dan sekarang berbeda karena mereka mendapat wewenang absolut menyelesaikan sengketa syariah, maka kompetensi mereka juga disetarakan dengan para ekonom syariah,'' tutur Setiawan. Ia menyebut semua pengadilan agama sudah memiliki hakim agama untuk keuangan syariah.

Sumber : Republika, 24 November 2014

Selasa, 23 Desember 2014

Pengamat: Pelaku Keuangan Syariah Harus Mau Gunakan Pengadilan Agama

Pengamat ekonomi syariah dari The Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, Nadratuzzaman Hosen mengatakan pengadilan agama sudah banyak berubah. Pelaku keuangan syariah harusnya sadar untuk ikut menggunakan hukum yang memang mengatur itu, termasuk pengadilan agama sebagai tempat penyelesaikan sengketa. ''Buat saya aneh jika hanya mau menggunakan produk keuangan syariah tapi tidak mau ikut aturan syariah yang menyertainya,'' kata Nadra.

Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan pengadilan agama jadi tempat penyelesaian sengketa bidang ekonomi syariah. Sebab akan lebih sulit jika perkara syariah diproses di pengadilan negeri. ''Kalau soal selera memang susah. Aneh memang kalau mau enak sendiri,'' lanjutnya.

Ia berharap industri keuangan syariah juga menyampaikan apa yang mereka butuhkan agar persoalan bisa diselesaikan bersama. Sehingga masyarakat tidak bingung dan ada kepastian hukum. Banyak Pekerjaan Rumah terkait pembangunan infrastruktur keuangan syariah harus dibangun bersama para pemegang kepentingan, termasuk peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengadilan tidak bisa terlalu aktif, sehingga payung hukum yang ada harus harmonis, tidak merugikan industri dan nasabah.

Nadra meminta Presiden Joko Widodo benar-benar menunjukkan dukungan terhadap keuangan syariah nasional, sehingga investasi petro dollar dari negara-negara Timur Tengah bisa masuk ke Indonesia.

Sumber : Republika, 24 November 2014

Sabtu, 20 Desember 2014

Pentingnya Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah

Sayangnya, praktek akad dengan bantuan notaris yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia belum dinilai baik dan sempurna oleh berbagai pihak. Menurut Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, M Nadratuzzaman Hosen, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.

“Dalam banyak kasus sengketa di pengadilan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah, lembaga keuangan syariah seringkali kalah di pengadilan lantaran akad lembaga keuangan syariah yang kurang jelas aplikasinya serta kurang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif,” ujar Nadratuzzaman dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.

Padahal, lanjut Nadra, akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis. Namun, ironisnya implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antara satu bank dengan bank lainnya seringkali ditafsir secara berbeda oleh beberapa pihak. “Untuk itu harus ada kesesuaian antara teori dengan praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di lembaga keuangan syariah,” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ikhwan Abidin Basri, menilai pada dasarnya standarisasi surat perjanjian kontrak diperlukan karena memudahkan semua pihak dalam memahami ketentuan yang ada dalam akad, serta menyeragamkan semua akad.

Di lain pihak, tambahnya, standarisasi juga akan memudahkan regulator dalam memahami dan menjalankan fungsi regulator dan mengawasi operasional akad pada masing-masing lembaga keuangan syariah. “Standarisasi akad ini juga akan memudahkan notaris, hakim, arbitrer dalam memahami akad dan membantu memudahkan dalam pembuatan keputusan,” ungkap Ikhwan.

Sumber : Sharing, 20 November 2014

Rabu, 17 Desember 2014

Standardisasi Produk Keuangan Syariah Mengacu Pada Tiga Hal Ini!

Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, Setiawan Budi Utomo, menuturkan jika suatu akad tidak dibuat dengan menggunakan konstruksi yang ditetapkan DSN-MUI, maka akad tersebut menjadi akad yang cacat hukum dan lemah yang nantinya berpotensi untuk dibatalkan demi hukum.

“Ada asumsi bahwa perjanjian standar yang dirancang oleh perbankan syariah belum sepenuhnya mencerminkan ketentuan muamalah syariah secara substantif sebagaimana ditetapkan dalam fatwa DSN karena adanya beberapa klausul perjanjian masih dipengaruhi atau berpedoman pada perjanjian produk perbankan konvensional,” katanya dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.

Setiawan memaparkan standardisasi produk jasa keuangan syariah secara prinsip mengacu pada tiga hal. Pertama, prosedur standar berupa Standard Operating Procedure (SOP) yang harus ditempuh oleh lembaga penyedia jasa keuangan syariah dalam operasional produknya. Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku yang akan digunakan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi atau substansi yang harus dimuat dalam klausul perjanjian yang disesuaikan dengan fatwa DSN-MUI dan prinsip syariah pada umumnya, di samping prinsip kehati-hatian, good governance serta memenuhi standar market conduct.

Menurutnya, standarisasi produk jasa keuangan syariah yang secara praktis dapat digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian sengketa dalam kontrak bisnis syariah, sekaligus sebagai panduan yang memudahkan para notaris dan pelaku keuangan syariah. Dengan demikian, kepatuhan dan kesesuaian terhadap prinsip syariah dapat dijamin untuk melindungi kepentingan dan keadilan bagi semua pihak.

Sumber : MySharing, 20 November 2014

Minggu, 14 Desember 2014

Pelaku Keuangan Syariah Harus Perhatikan Isi Akad

Isi akad dalam perjanjian lembaga keuangan syariah dan nasabah penting untuk diperhatikan. Sebab, akad akan menentukan proses penyelesaian jika terjadi sengketa.

Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung Abdul Ghani menuturkan selama ini pengadilan agama hanya ditugaskan memutus perkara seputar perkawinan, zakat, wakaf, waris, infak, sedekah, dan sejenisnya. Tapi kali ini pengadilan agama juga diberi amanah tambahan untuk memutus sengketa kegiatan ekonomi syariah.

Dari UU No 3/2006 pasal 49 i cakupan ekonomi syariah cukup luas. Tidak hanya bank syariah tapi juga pasar modal hingga bisnis syariah. Akad jadi penting karena jadi poin pertama yang harus diperhatikan hakim agama dalam proses membuat putusan. Penting untuk memastikan kejelasan dan kesepakatan kedua pihak menunjuk tempat penyelesaian jika terjadi sengketa. Di pengadilan negeri, pengadilan agama atau arbitrase syariah yang harus dimuat dalam akad.

"Saat ini pengadilan agama pun sudah bisa memutuskan perkara sendiri tanpa harus melalui pengadilan negeri. Misalnya untuk hak tanggungan," kata Abdul di Jakarta, Kamis (20/11) dalam seminar "Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?" yang diadakan oleh IBFI Trisakti.

Jika sempat diragukan soal kapasitas, Abdul mengatakan, masyarakat bisa menilai sendiri dari hasil putusan yang dibuat hakim. MA tidak abai soal pembekalan pengetahuan hakim mengenai ekonomi syariah.

Perwakilan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Ahmad Jauhari, pada kesempatan yang sama mengungkapkan kesepakatan penyelesaian sengketa sangat penting. Kesepakatan itu bisa dibuat sejak awal pembuatan akad. Putusan sengketa keuangan syariah yang dibuat Basyarnas bersifat final dan tidak bisa banding dengan kekuatan eksekutorial. Keputusan bisa dibatalkan dengan pengalihan sengketa ke pengadilan negeri.

Di sisi lain, prosesnya efisien karena persidangan sederhana dan tertutup serta harus selesai dalam 180 hari. Arbiter yang ada pun disesuaikan dengan bidang sengketa. Ia meyakinkan arbiter Basyaranas memiliki kompetensi diberbagai bidang ekonomi syariah.

"Pada prinsipnya, Basyarnas juga mengutamakan jalan damai antara kedua pihak bersengketa (islah). Jika itu tidak tercapai, maka proses baru diputuskan melalui musyawarah majelis," kata Ahmad.

Ahmad sepakat perlu terus ada edukasi bagi pelaku, regulator dan penegak hukum di bidang keuangan syariah. Ini untuk memastikan akad dibuat notaris sesuai dengan fatwa, nasabah dan lembaga keuangan mengerti isi akad, dan penegak hukum bisa memahami kasus jika akad juga jelas.

"Saya sarankan bagi mereka yang membuat akad untuk sama-sama membuat perjanjian dengan niat ibadah," ungkap Ahmad.

Sumber : Republika, 21 November 2014

Kamis, 11 Desember 2014

Arti Ekonomi Syariah Diminta tak Disempitkan

Makin kompleksnya kebutuhan dan sektor ekonomi harus diimbangi dengan jangkauan hukum syariah yang sama luasnya. Ini penting jika ingin mendukung perkembangan keuangan syariah di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Yuslam Fauzi meminta agar arti syariah tidak disempitkan hanya pada aspek halal dan haram dalam muamalah. Sebab pengertian syariah lebih luas dari sekadar perkara itu. Mencari lebih banyak kesamaan harusnya jadi poin utama dalam pengembangan ekonomi syariah. Agar tujuan utama dari ekonomi syariah untuk mensejahterakan umat dapat tercapai.

"Syariah yang mensejahterakan, mengentaskan kemiskinan, prolingkunganlah yang saat ini harus dikembangkan. Nilai kebaikan universal ini yang akan membuat ekonomi syariah diterima di manapun," tutur Yuslam di Jakarta, Kamis (20/11) dalam seminar "Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?" yang diadakan oleh IBFI Trisakti.

Presiden Direktur Maybank Indonesia Norfadelizan Abdul Rahman, pada kesempatan yang sama mencatat ada dua poin untuk kontrak keuangan syariah. Pertama, kontrak keuangan syariah harus mengikuti kebutuhan. Meski ada kebutuhan yang berbeda-beda satu wilayah dengan wilayah lainnya, harus ada standar yang jelas.

"Harus ada standar bersama secara global. Ini penting agar perkembangan ekonomi syariah satu negara tidak terkotakkan sendiri sehingga terkesan tertutup," kata Norfadelizan.

Jumlah fatwa yang diterbitkan juga sebenarnya perlu menyesuaikan kebutuhan produk. Ia menyebut fatwa DSN-MUI belum ada yang menyangkut produk hedging. Nasabah yang ingin menggunakan hedging jadi harus menggunakan produk perbankan konvesional. Ia cukup memahami karena saat produk syariah diubah ke hedging, produknya tidak lagi syariah.

Sumber : Republika, 21 November 2014

Senin, 08 Desember 2014

Hedging Syariah Fasilitasi Pengembangan Bisnis Perbankan Syariah di Indonesia

Instrumen hedging yang tengah dibahas Dewan Syariah Nasional (DSN) tidak hanya untuk kebutuhan saat ini saja, tetapi juga untuk memfasilitasi pengembangan bisnis perbankan syariah di masa yang akan datang.

Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, Muhamad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, hedging syariah pada dasarnya adalah bentuk perlindungan nilai. Penggunaan hedging syariah harus murni untuk transaksi di sektor produktif.
Contoh, untuk nasabah yang mencicil pembiayaan menggunakan dolar, maka nasabah itu boleh memesan sejumlah dolar dengan kurs saat ini meskipun baru dibeli satu bulan lagi. ''Itu berarti ada hajat yang ingin dilakukan, tujuannya jelas,'' kata Nadra.

Instrumen hedging pun bukan hanya untuk saat ini saja, tapi untuk pengembangan usaha bank syariah di masa mendatang. Sebab sebenarnya kebutuhan akan instrumen itu telah ada. Meski belum banyak, Nadra mengatakan Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri sudah mulai masuk pasar internasional. Hedging tentu akan membantu mengurangi ketidakpastian yang tidak hanya menyulitkan perbankan, tetapi juga pemerintah.

Nadra yang juga pengurus DSN-MUI mengatakan, saat ini DSN-MUI tengah berdiskusi dengan otoriras untuk membirakan teknisnya. Ini penting agar fatwa murni digunakan untuk tujuan produktif bukan spekulatif.

Sumber : Republika, 8 Desember 2014

OJK: Standardisasi Akad Keuangan Syariah Penting

Standardisasi penyusunan akad atau kontrak, serta produk antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah sangat penting, salah satunya karena akad tersebut dapat menjadi pedoman dalam penyelesaian sengketa.

"Sekaligus standardisasi itu untuk menjadi panduan yang memudahkan bagi notaris dan pelaku industri jasa keuangan syariah," kata Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah OJK Setiawan Budi Utomo, dalam diskusi di The Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) di Jakarta, Kamis (20/11).

Setiawan mengatakan, dengan adanya standardisasi itu, pihak-pihak yang bersengketa memiliki acuan yang mengandung prinsip syariah dalam produk keuangan.

Selama ini, kata dia, jika terjadi sengketa antara lembaga keuangan dan nasabah, akad atau juga perjanjian syariah ternyata sering dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah. Akhirnya, perjanjian itu dibatalkan oleh Pengadilan Agama ataupun Badan Arbitrase Syariah Nasional MUI.

"Akad atau perjanjian itu juga kerap masih berpedoman pada produk keuangan konvensional, dan memang Sumber Daya Manusianya di lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mengerti syariah," ujar Setiawan.

Menurut Setiawan, standardisasi tersebut harus mengacu pada tiga hal yakni, pertama prosedur standar yang harus dijalankan lembaga jasa keuangan syariah dalam mengoperasionalkan produknya.

Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku, yang menjadi landasan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi yang dimuat harus disesuaikan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan prinsip syariah pada umumnya disamping prinsip kehati-hatian serta memenuhi standar 'market conduct'.

Selama ini, akad antara lembaga keuangan syariah dan nasabah disusun berdasarkan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Namun, akad itu juga harus sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Peraturan Mahkamah Agung.

Direktur Eksekutif IBFI Universitas Trisakti Muhamad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, selama ini implementasi dari akad bisnis keuangan juga berbeda oleh beberapa pihak.

Menurut dia, dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan, lembaga keuangan syariah seringkali kalah karena akad yang tidak sempurna aplikasinya dan juga tidak sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif.

Dia menekankan, dalam prinsip syariah, bukan hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai syariah, tetapi juga hubungan hukum dan akibat hukum yang timbul. "Termasuk, dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya," ujarnya.

Sumber : Republika, 20 November 2014

Jumat, 05 Desember 2014

IBFI Trisakti Menyelenggarakan Seminar Bertajuk “Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?”

Perkembangan bisnis keuangan syariah secara nasional menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan makin inovatifnya produk-produk keuangan syariah di Indonesia untuk mempercepat akselarasi bisnis. Inovasi produk keuangan syariah tentunya membutuhkan inovasi dari akad-akad yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah.

Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Muhamad Nadratuzzaman Hosen, praktek akad dengan bantuan Notaris yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia belum dinilai baik dan sempurna oleh berbagai pihak jelas, hal ini merupakan salah satu penyebab sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.

Dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah, lembaga keuangan syariah seringkali kalah di Pengadilan lantaran akad lembaga keuangan syariah yang kurang jelas aplikasinya serta kurang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif.

Padahal akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis. Ironisnya lanjut Nadra, implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antara satu bank dengan bank lainnya seringkali ditafsir secara berbeda oleh beberapa pihak. Untuk  itu  harus  ada  kesesuaian  antara  teori  dengan  praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di Lembaga Keuangan Syariah.

Padahal Nadra melanjutkan, prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan syariah saja, melainkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.

Melihat realitas inilah, pada hari Kamis, 20 November 2014, Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti menyelenggarakan seminar bertajuk “Perlu atau Tidakkkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?” yang dihadiri oleh narasumber Yuslam Fauzi (Ketua Umum Asosisi Bank Syariah indonesia (ASBISINDO)), Dr. Setiawan Budi Utomo (Kepala Bagian Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan), DR. H. Edi Riadi, SH, ,MH (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta), H. Abdul Ghoni, SH., MH (Panitera Muda Bidang Urusan Agama  Perdata, Mahkamah Agung Republik Indonesia), Norfadelizan Abdul Rahman  (Presiden Direktur Bank Maybank Syariah Indonesia), Ikhwan Abidin Basri, MA (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)) dan Ahmad Jauhari, SH., MH (Sekretaris  Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Sambutan Direktur IBFI Trisakti, Prof. Yuswar Zainul Basri

Ketua Umum Asbisindo (Yuslam Fauzi) Memberikan Keynote Speech

Dari Kiri ke kanan: Norfadelizan A. Rahman, Abdul Ghoni, Setiawan Budi Utomo, Ahmad Jauhari, Edi Riadi, Muhamad Nadratuzzaman Hosen

Antusiasme Peserta Seminar Mendengarkan Paparan Narasumber

Penyerahan Cenderamata untuk Pembicara oleh IBFI Universitas Trisakti