Minggu, 25 Oktober 2015

Program Pendidikan Akuntansi Keuangan Syariah - IBFI Trisakti 11 s.d 12 November 2015


Akuntansi Syariah di Indonesia sudah berkembang dengan cukup pesat hingga saat ini. Sebelum tahun 2008 hanya ada satu ketentuan akuntansi syariah yaitu PSAK 59 tentang akuntansi Perbankan Syariah yang hanya digunakan oleh Bank Syariah, maka mulai tahun 2007 sudah dapat dikembangkan dan disempurnakan menjadi beberapa PSAK Syariah yaitu, PSAK 101 sampai dengan 107, yang digunakan oleh seluruh lembaga keuangan syariah dan pihak-pihak terkait, termasuk kerangka dasar penyajian penyusunan laporan keuangan syariah (KDPPLKS) yang terpisah dari akuntansi umum. Dengan adanya perubahan dan penyempurnaan akuntansi syariah tersebut sangat diperlukan pemahaman semua pihak, khususnya pelaksana lembaga keuangan syariah.

Materi pelatihan yang diberikan adalah sebagai berikut:
  1. Konsep Dasar Ekonomi Syariah
  2. Kerangka Dasar Penyajian dan Penyusunan Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS)
  3. PSAK 101 (Penyajian Laporan Keuangan Syariah)
  4. PSAK 102 (Akuntansi Murabahah)
  5. PSAK 103 (Akuntansi Salam) & 104 (Akuntansi Istisna)
  6. PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah)
  7. PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah)
  8. PSAK 107 (Akuntansi Ijarah)
Tim Instruktur:
  1. Dr. Slamet Wiyono, MBA (Dosen Universitas Trisakti).
  2. Dr. Lalu Abdul Fatah, SE.Ak, MM (Dosen Universitas Trisakti)
Waktu & Tempat:
Waktu   :   Rabu s.d Kamis, 11 s.d 12 November 2015, Pukul 08.00 - 17.00
Tempat  :  Islamic Banking &  Finance (IBFI), Universitas Trisakti, Kantor Taman E3.3 Blok C2, Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung,Kawasan Mega Kuningan, Jakarta

Investasi:

Biaya    :   Rp 2,5 juta (diskon 10% 3 pendaftar dari institusi yang sama)
Fasilitas :  Ruang kelas ber-AC, Wi-Fi, modul, sertifikat, coffee break dan lunch.

Informasi Lengkap:Sdr. Syafaat Muhari, Tlp : 021-5764373 Ext.203, Fax: 021-5764572, HP. 0813 8378 9184, Email: ibfi.trisakti@gmail.com.

Kamis, 02 Juli 2015

Tingkatkan Daya Saing, BPRS Harus Efisien

Syafaat Muhari dari Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti, mengatakan karakteristik BPRS di setiap wilayah Indonesia berbeda mengingat kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulaun. Selain itu, kinerja BPRS yang dibatasi dalam satu provinsi membuat bank ini berkembang berdasarkan karakter wilayah masing-masing.

Tujuan adanya BPRS adalah untuk melayani masyarakat yang tidak dapat mengakses pelayanan perbankan modern. “Untuk pengembangan BPRS, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang BPR, yang mana dalam peraturan tersebut jumlah minimum akan dibagi ke dalam empat zona,” kata Syafaat, dalam presentasi hasil riset “Analisis Tingkat Efisiensi BPRS pada 6 Zona di Wilayah Indonesia,” di IBFI Universitas Trisakti, belum lama ini.

Ia menuturkan, zona satu menunjukkan potensi ekonomi lebih tinggi dan persaingan lembaga keuangan lebih ketat. Sedangkan zona empat menunjukkan zona dengan potensi ekonomi lebih rendah dan persaingan keuangan lebih longgar. Jumlah modal yang disetor adalah sebesar Rp 14 miliar sampai Rp 4 miliar untuk masing-masing zona sebagai modal inti setiap BPRS.

Menurutnya, BPRS di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten akan bersaing lebih ketat dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia mengingat di wilayah ini akses terhadap bank umum relatif lebih mudah. Sedangkan BPRS di wilayah Sumatera, Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur (KTI) memiliki performance indicator (PI) lebih baik dibandingkan dengan BPRS di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten. “Hal ini terjadi karena akses bank umum di keempat wilayah tersebut relatif lebih sulit jika dibandingkan dengan wilayah jabodetabek, Jawa Barat dan Banten,” katanya.

Semakin didorongnya bank-bank umum ke kota-kota kecil dan pedesaan diluar wilayah Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten. Maka persaingan BPRS dengan bank umum akan semakin meningkat. Sedangkan kekuatan bank umum yang tengah berekspansi ke pasar mikro terletak pada kemampuan permodalan, teknologi infomarsi dan sumber daya manusia yang lebih kompeten.

Sehingga dikhawatirkan hubungan personal tidak lagi menjadi kekuatan BPRS,jika nasabah melihat bahwa harga pembiayaan yang ditawarkan bank umum lebih murah. ”Berdasarkan data OJK per Juni 2014, rata-rata margin pembiayaan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah berkisar antara 11 persen hingga 14 persen. Sementara margin pembiayaan BPRS berkisar antara 14 persen-20 persen,” ujarnya.

Dengan demikian, tegas Syafaat, BPRS harus terus terjaga dengan baik agar tidak kalah bersaing dengan bank umum, khususnya dalam segmen microfinance. Namun demikian, kata dia, pengukuran kinerja dan solusi yang diberikan tidak bisa disamaratakan begitu saja. Karena BPRS dalam beberapa wilayah memiliki karakternya masing-masing, sehingga dalam memberikan solusi yang diberikan relatif berbeda antar BPRS.

Menurutnya, efisiensi dalam dunia perbankan adalah parameter kinerja yang cukup populer, banyak digunakan karena merupakan jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran kinerja perbankan. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional sering digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi. ”Tapi rasio ini memiliki kekurangan karena kesulitan dalam menentukan faktor-faktor menyebab inefisiensi,” imbuhnya.

Untuk mengatasi kekurangan yang ada pada analisis rasio dalam mengukur kinerja perusahaan, maka pendekatan frontier dikembangkan untuk menganalisis efisiensi perusahaan. Berger dan Humphrey membagi pengukuran efisiensi menjadi dua pendekatan, yaitu pendekatan non parametrik dan parametrik. Termasuk dalam pendekatan non parametrik yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dan Free Disposable Hull (FDH).

Sedangkan yang termasuk pendekatan parametrik yaitu Stochastic Frontier Approach (SFA) dan Distribution Free Approach (DFA). Sementara berdasarkan konsepnya efisiensi dapat dibagi menjadi tiga yaitu cost efficiency, profit efficiency dan alternative profit efficiency (Berger & Mester).

Adapun menurut Ketua Dewan Komisione OJK Muliaman D Hadad, kata Syafaat, terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mendefinisikan hubungan output dalam tingkah laku institusi finansial pada metode parametrik maupun nonparametrik. Pertama, pendekatan produksi, yang melihat institusi finansial sebagai produser dari akun deposit dan kredit pinjaman.

Pendekatan kedua adalah intermediasi yakni memandang sebuah institusi finansial sebagai intermediator. Sedangkan yang terakhir adalah pendekatan aset yang melihat fungsi primer sebuah institusi finansial sebagai pencipta kredit pinjaman.

Pendekatan lainnya, dikemukan oleh Jemric dan Vujcic. Keduanya menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan input dan output bank untuk mengukur efisiensi. Yaitu pendekatan intermediasi dan operasional.

Pendekatan intermediasi lebih pada segi mekanisme bank sebagai entitas yang menggunakan tenaga kerja dan modal untuk mentransformasikan tabungan ke dalam pinjaman dan surat-surat berharga. Sedangkan pendekatan operasional, dimana lebih menekankan pada perspektif biaya atau pendapatan bank.

Sumber : My Sharing 5 Juni 2015

Minggu, 10 Mei 2015

HEDGING SYARIAH: APA, MENGAPA, BAGAIMANA?




Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menerbitkan fatwa soal Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar. Hal tersebut menjadi penting mengingat nilai tukar rupiah yang tengah mengalami depresiasi akibat menguatnya dolar Amerika Serikat (AS), khususnya menjaga agar risiko dapat terjaga di level yang aman.
Fatwa lindung nilai syariah atas nilai tukar tersebut nantinya akan menjadi panduan bagi masyarakat, pelaku usaha, dan lembaga keuangan dalam melakukan lindung nilai yang sesuai dengan syariah. Diharapkan fatwa ini menjadi jalan awal lindung nilai dalam menutup praktik transaksi keuangan syariah dengan tujuan spekulatif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah menggodok peraturan mengenai hedging syariah sebagai tindak lanjut dari keluarnya fatwa DSN-MUI.
Mengingat telah dikeluarkannya fatwa yang mengatur tentang hedging syariah dari DSN MUI dan akan dikeluarkannya peraturan OJK tentang hedging syariah, maka meningkatkan pemahaman pelaku industri keuangan syariah tentang fatwa ini merupakan suatu hal yang cukup mendesak. Terlebih di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, hedging syariah diharapkan dapat diimplementasikan oleh industri keuangan syariah terutama setelah dikeluarkannya peraturan OJK yang mengatur hal ini.
Oleh karena itu, dengan adanya seminar dengan tajuk “Hedging Syariah: Apa, Mengapa Bagaimana?” diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan para peserta seminar seputar hedging berbasis syariah. Selain membahas masalah hedging syariah, dalam kesempatan kali ini juga akan dipaparkan hasil penelitian ilmiah seputar perkembangan industri keuangan syariah di tanah air. Seminar ini nantinya diharapkan dapat menjadi wadah bagi Praktisi, Regulator, Akademisi dan Ulama dalam mengembangkan keuangan syariah yang lebih maju.

MENGAPA HARUS MENGIKUTI SEMINAR?

Dengan adanya seminar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pelaku industri keuangan syariah tentang pentingnya hedging syariah dalam menjaga kelangsungan bisnis. Selain itu, pelaku industri keuangan syariah juga dapat memperdalam pemahamannya tentang mekanisme hedging syariah berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.96.
IBFI Trisakti juga menyadari bahwa perkembangan keuangan syariah yang pesat mulai melambat dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, IBFI Trisakti akan memaparkan hasil penelitian terkait perkembangan Industri keuangan syariah di Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi industri keuangan syariah dan regulator dalam menentukan arah bisnis keuangan syariah kedepan.

Waktu    : Kamis, 21 Mei 2015, Pikul 13.30 - 16.35 WIB
Tempat  : Islamic Banking &  Finance (IBFI), Universitas Trisakti, Kantor Taman E3.3 Blok C2, Lt.5, Komplek Menara Anugerah, Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung, Mega Kuningan, Jakarta
Biaya Seminar :
1. Regular (pendaftar sampai 19 Mei 2015) : Rp 500.000 per orang
2. Early Bird (paling lambat 11 Mei 2015)    : Rp 400.000 per orang
3. Tiga orang dari Instansi yang sama       : Rp 350.000 per orang
4. Mahasiswa S1                                   : Rp 100.000 per orang
5. Mahasiswa/Alumni IEF Trisakti              : Rp 300.000 per orang

Fasilitas :    Modul, Snack, Sertifikat

·         Pembayaran ditransfer melalui : Bank Syariah Mandiri DR. H. Yuswar Z.B QQ IBFI No. rek 101 00000 56
·         Syarat sah menjadipeserta jika telah mengirimkan bukti transfer beserta form yang telah diisi lengkap dan telah diterima oleh panitia seminar

Mohon dapat diisi dengan lengkap data-data di bawah ini sebagai persyaratan pendaftaran peserta Seminar “HEDGING SYARIAH: APA, MENGAPA, BAGAIMANA?” dan Presentasi Hasil Riset. Setelah dilengkapi, form dapat dikirimkan kembali kepada Panitia Seminar via email ke: ibfi.trisakti@gmail.com, paling lambat Selasa, 19 Mei 2015.


Informasi lebih lanjut:
Telp : 021-576 4373, HP. 0813 8378 9184 (Syafaat)
Fax. 021-576 4572

Senin, 06 April 2015

IKNB Syariah terganjal minimnya inovasi produk

Pangsa pasar industri keuangan non bank (IKNB) Syariah masih mini. Berdasar data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar IKNB syariah dari sisi aset tahun lalu hanya 3,5%. Penguasaan ini naik tipis dibanding akhir tahun 2013 yang sebesar 3,1%.

Salah satu penyebab masih minimnya pangsa pasar IKNB Syariah  adalah minimnya inovasi produkyang bisa menarik minat nasabah konvensional berpaling ke produk-produk syariah. Pelaku usaha IKNB Syariah ini pun kesulitan menggenjot penetrasi pasar.

Direktur IKNB Syariah OJK Muhammad Muchlasin menyebut, minimnya inovasi akibat  langkanya sumber daya yang mumpuni. Alhasil produk yang mereka hasilkan tak jauh beda dengan produk konvensional. "Kalau tak ada bedanya, kebanyakan memilih yang konvensional," katanya, Kamis (26/3).
Untuk mendorong pertumbuhan diIKNB Syariah  ini, OJK pun menyiapkan sejumlah cara.  
Salah satunya, OJK berencana membentuk task force pengembangan IKB syariah dengan ikut menggandeng lembaga lain, termasuk perbankan. Maklum, pelaku bisnis non bank tak bisa lepas dari lembaga lain, termasuk perbankan untuk pendanaan dan pemasaran.

Di industri asuransi syariah sendiri, papar Muhammad,  mereka berupaya mengembangkan sistem pemasaran yang lebih mudah dijalankan. "Misal pemasaran melalui komunitas sepertinya lebih bisa untuk dimaksimalkan industri," kata dia, Kamis (26/3).

Untuk perusahaan penjaminan syariah, regulator menyiapkan peraturan OJK (POJK) soal penguatan kelembagaan industri ini. "Selain itu kita rencanakan perluasan usaha seperti melalui co-guarantee, regaransi, sampai surity," lanjut Muhamad.

Adanya perluasan izin usaha bagi perusahaan pembiayaan, juga bisa berdampak positif, karena perusahaan pembiayaan bisa menggarap segmen syariah. Meski, Muhamad mengakui, pelaku industri butuh waktu  untuk merancang strategi bisnis dalam memasuki lini bisnis baru ini.

Sumber : Kontan, 26 Maret 2015