Kamis, 25 Desember 2014

Sengketa Keuangan Syariah, Hakim Agama Juga Mengerti

Pengadilan agama terus melakukan perbaikan dengan mempercepat proses penetapan putusan khususnya dalam bidang keuangan syariah, sebab tidak jarang pengadilan agama jadi kambing hitam penghambat perkembangan ekonomi syariah.

Padahal, kata Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Edi Riadi, awal persoalan biasanya disebabkan dari akad yang tidak benar. Karena itu, standar akad penting ada, termasuk sinkronisasi undang-undang oleh Dewan Pengadilan Rakyat (DPR), sebab pengadilan hanya menunggu kasus yang masuk. Perkara ekonomi syariah yang masuk pengadilan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 terdapat 7 kasus, 2008 6 kasus, 2009 12 kasus, 2010 13 kasus, 2011 11 kasus, 2012 28 kasus dan 2012 16 kasus.

Untuk melengkapi dan meningkatkan kapasitas, sejak tahun 2007 hingga 2014 sudah ada 40 hakim yang studi banding ke Mesir, Sudan, Pakistan, Malaysia dan Inggris. 80 hakim mendapatkan pendidikan di Riyadh, Arab Saudi dan 400 hakim disertifikasi ekonomi syariah yang bekerja sama dengan BI dan OJK. Sudah ada pula 2.250 hakim yang mengikuti penataran oleh pendidikan tinggi agama untuk pembekalan ekonomi syariah. Meski bukan proses sertifikasi, proses ini tetap bekerja sama dengan BI dan OJK.

Untuk mendukung akses masyarakat, penyiapan sarana seperti pemugaran gedung dan website dilakukan. Sayang, tidak pastinya status kerja tenaga teknologi informasi di pengadilan agama membuat SDM bidang itu banyak berkurang. ''MA kurang memerhatikan mereka sehingga banyak mereka yang mengundurkan diri, website jadi tidak update,'' kada Edi dalam Seminar Standardisasi Akad dan Sengketa Bisnis Syariah di Islamic Banking and Finance Institute, Universitas Trisakti, Kamis (20/11/14).

Review Kebijakan dan Standar Internasional Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Setiawan Budi Utomo mengatakan sudah ada standarisasi kompetensi hakim agama yang menangani sengketa keuangan syariah. Prosesnya berupa sertifikasi, pendidikan dan pelatihan, setidaknya sudah sekitar 300 hakim yang sudah disertifikasi. Nanti akan terlihat pula dari putusan-putusan yang mereka buat, apakah profesional atau tidak.

''Selain itu, masyarakat juga perlu dipahamkan hakim agama dulu dan sekarang berbeda karena mereka mendapat wewenang absolut menyelesaikan sengketa syariah, maka kompetensi mereka juga disetarakan dengan para ekonom syariah,'' tutur Setiawan. Ia menyebut semua pengadilan agama sudah memiliki hakim agama untuk keuangan syariah.

Sumber : Republika, 24 November 2014

Selasa, 23 Desember 2014

Pengamat: Pelaku Keuangan Syariah Harus Mau Gunakan Pengadilan Agama

Pengamat ekonomi syariah dari The Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, Nadratuzzaman Hosen mengatakan pengadilan agama sudah banyak berubah. Pelaku keuangan syariah harusnya sadar untuk ikut menggunakan hukum yang memang mengatur itu, termasuk pengadilan agama sebagai tempat penyelesaikan sengketa. ''Buat saya aneh jika hanya mau menggunakan produk keuangan syariah tapi tidak mau ikut aturan syariah yang menyertainya,'' kata Nadra.

Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan pengadilan agama jadi tempat penyelesaian sengketa bidang ekonomi syariah. Sebab akan lebih sulit jika perkara syariah diproses di pengadilan negeri. ''Kalau soal selera memang susah. Aneh memang kalau mau enak sendiri,'' lanjutnya.

Ia berharap industri keuangan syariah juga menyampaikan apa yang mereka butuhkan agar persoalan bisa diselesaikan bersama. Sehingga masyarakat tidak bingung dan ada kepastian hukum. Banyak Pekerjaan Rumah terkait pembangunan infrastruktur keuangan syariah harus dibangun bersama para pemegang kepentingan, termasuk peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengadilan tidak bisa terlalu aktif, sehingga payung hukum yang ada harus harmonis, tidak merugikan industri dan nasabah.

Nadra meminta Presiden Joko Widodo benar-benar menunjukkan dukungan terhadap keuangan syariah nasional, sehingga investasi petro dollar dari negara-negara Timur Tengah bisa masuk ke Indonesia.

Sumber : Republika, 24 November 2014

Sabtu, 20 Desember 2014

Pentingnya Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah

Sayangnya, praktek akad dengan bantuan notaris yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia belum dinilai baik dan sempurna oleh berbagai pihak. Menurut Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, M Nadratuzzaman Hosen, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.

“Dalam banyak kasus sengketa di pengadilan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah, lembaga keuangan syariah seringkali kalah di pengadilan lantaran akad lembaga keuangan syariah yang kurang jelas aplikasinya serta kurang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif,” ujar Nadratuzzaman dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.

Padahal, lanjut Nadra, akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis. Namun, ironisnya implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antara satu bank dengan bank lainnya seringkali ditafsir secara berbeda oleh beberapa pihak. “Untuk itu harus ada kesesuaian antara teori dengan praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di lembaga keuangan syariah,” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ikhwan Abidin Basri, menilai pada dasarnya standarisasi surat perjanjian kontrak diperlukan karena memudahkan semua pihak dalam memahami ketentuan yang ada dalam akad, serta menyeragamkan semua akad.

Di lain pihak, tambahnya, standarisasi juga akan memudahkan regulator dalam memahami dan menjalankan fungsi regulator dan mengawasi operasional akad pada masing-masing lembaga keuangan syariah. “Standarisasi akad ini juga akan memudahkan notaris, hakim, arbitrer dalam memahami akad dan membantu memudahkan dalam pembuatan keputusan,” ungkap Ikhwan.

Sumber : Sharing, 20 November 2014

Rabu, 17 Desember 2014

Standardisasi Produk Keuangan Syariah Mengacu Pada Tiga Hal Ini!

Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, Setiawan Budi Utomo, menuturkan jika suatu akad tidak dibuat dengan menggunakan konstruksi yang ditetapkan DSN-MUI, maka akad tersebut menjadi akad yang cacat hukum dan lemah yang nantinya berpotensi untuk dibatalkan demi hukum.

“Ada asumsi bahwa perjanjian standar yang dirancang oleh perbankan syariah belum sepenuhnya mencerminkan ketentuan muamalah syariah secara substantif sebagaimana ditetapkan dalam fatwa DSN karena adanya beberapa klausul perjanjian masih dipengaruhi atau berpedoman pada perjanjian produk perbankan konvensional,” katanya dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.

Setiawan memaparkan standardisasi produk jasa keuangan syariah secara prinsip mengacu pada tiga hal. Pertama, prosedur standar berupa Standard Operating Procedure (SOP) yang harus ditempuh oleh lembaga penyedia jasa keuangan syariah dalam operasional produknya. Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku yang akan digunakan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi atau substansi yang harus dimuat dalam klausul perjanjian yang disesuaikan dengan fatwa DSN-MUI dan prinsip syariah pada umumnya, di samping prinsip kehati-hatian, good governance serta memenuhi standar market conduct.

Menurutnya, standarisasi produk jasa keuangan syariah yang secara praktis dapat digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian sengketa dalam kontrak bisnis syariah, sekaligus sebagai panduan yang memudahkan para notaris dan pelaku keuangan syariah. Dengan demikian, kepatuhan dan kesesuaian terhadap prinsip syariah dapat dijamin untuk melindungi kepentingan dan keadilan bagi semua pihak.

Sumber : MySharing, 20 November 2014

Minggu, 14 Desember 2014

Pelaku Keuangan Syariah Harus Perhatikan Isi Akad

Isi akad dalam perjanjian lembaga keuangan syariah dan nasabah penting untuk diperhatikan. Sebab, akad akan menentukan proses penyelesaian jika terjadi sengketa.

Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung Abdul Ghani menuturkan selama ini pengadilan agama hanya ditugaskan memutus perkara seputar perkawinan, zakat, wakaf, waris, infak, sedekah, dan sejenisnya. Tapi kali ini pengadilan agama juga diberi amanah tambahan untuk memutus sengketa kegiatan ekonomi syariah.

Dari UU No 3/2006 pasal 49 i cakupan ekonomi syariah cukup luas. Tidak hanya bank syariah tapi juga pasar modal hingga bisnis syariah. Akad jadi penting karena jadi poin pertama yang harus diperhatikan hakim agama dalam proses membuat putusan. Penting untuk memastikan kejelasan dan kesepakatan kedua pihak menunjuk tempat penyelesaian jika terjadi sengketa. Di pengadilan negeri, pengadilan agama atau arbitrase syariah yang harus dimuat dalam akad.

"Saat ini pengadilan agama pun sudah bisa memutuskan perkara sendiri tanpa harus melalui pengadilan negeri. Misalnya untuk hak tanggungan," kata Abdul di Jakarta, Kamis (20/11) dalam seminar "Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?" yang diadakan oleh IBFI Trisakti.

Jika sempat diragukan soal kapasitas, Abdul mengatakan, masyarakat bisa menilai sendiri dari hasil putusan yang dibuat hakim. MA tidak abai soal pembekalan pengetahuan hakim mengenai ekonomi syariah.

Perwakilan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Ahmad Jauhari, pada kesempatan yang sama mengungkapkan kesepakatan penyelesaian sengketa sangat penting. Kesepakatan itu bisa dibuat sejak awal pembuatan akad. Putusan sengketa keuangan syariah yang dibuat Basyarnas bersifat final dan tidak bisa banding dengan kekuatan eksekutorial. Keputusan bisa dibatalkan dengan pengalihan sengketa ke pengadilan negeri.

Di sisi lain, prosesnya efisien karena persidangan sederhana dan tertutup serta harus selesai dalam 180 hari. Arbiter yang ada pun disesuaikan dengan bidang sengketa. Ia meyakinkan arbiter Basyaranas memiliki kompetensi diberbagai bidang ekonomi syariah.

"Pada prinsipnya, Basyarnas juga mengutamakan jalan damai antara kedua pihak bersengketa (islah). Jika itu tidak tercapai, maka proses baru diputuskan melalui musyawarah majelis," kata Ahmad.

Ahmad sepakat perlu terus ada edukasi bagi pelaku, regulator dan penegak hukum di bidang keuangan syariah. Ini untuk memastikan akad dibuat notaris sesuai dengan fatwa, nasabah dan lembaga keuangan mengerti isi akad, dan penegak hukum bisa memahami kasus jika akad juga jelas.

"Saya sarankan bagi mereka yang membuat akad untuk sama-sama membuat perjanjian dengan niat ibadah," ungkap Ahmad.

Sumber : Republika, 21 November 2014

Kamis, 11 Desember 2014

Arti Ekonomi Syariah Diminta tak Disempitkan

Makin kompleksnya kebutuhan dan sektor ekonomi harus diimbangi dengan jangkauan hukum syariah yang sama luasnya. Ini penting jika ingin mendukung perkembangan keuangan syariah di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Yuslam Fauzi meminta agar arti syariah tidak disempitkan hanya pada aspek halal dan haram dalam muamalah. Sebab pengertian syariah lebih luas dari sekadar perkara itu. Mencari lebih banyak kesamaan harusnya jadi poin utama dalam pengembangan ekonomi syariah. Agar tujuan utama dari ekonomi syariah untuk mensejahterakan umat dapat tercapai.

"Syariah yang mensejahterakan, mengentaskan kemiskinan, prolingkunganlah yang saat ini harus dikembangkan. Nilai kebaikan universal ini yang akan membuat ekonomi syariah diterima di manapun," tutur Yuslam di Jakarta, Kamis (20/11) dalam seminar "Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?" yang diadakan oleh IBFI Trisakti.

Presiden Direktur Maybank Indonesia Norfadelizan Abdul Rahman, pada kesempatan yang sama mencatat ada dua poin untuk kontrak keuangan syariah. Pertama, kontrak keuangan syariah harus mengikuti kebutuhan. Meski ada kebutuhan yang berbeda-beda satu wilayah dengan wilayah lainnya, harus ada standar yang jelas.

"Harus ada standar bersama secara global. Ini penting agar perkembangan ekonomi syariah satu negara tidak terkotakkan sendiri sehingga terkesan tertutup," kata Norfadelizan.

Jumlah fatwa yang diterbitkan juga sebenarnya perlu menyesuaikan kebutuhan produk. Ia menyebut fatwa DSN-MUI belum ada yang menyangkut produk hedging. Nasabah yang ingin menggunakan hedging jadi harus menggunakan produk perbankan konvesional. Ia cukup memahami karena saat produk syariah diubah ke hedging, produknya tidak lagi syariah.

Sumber : Republika, 21 November 2014

Senin, 08 Desember 2014

Hedging Syariah Fasilitasi Pengembangan Bisnis Perbankan Syariah di Indonesia

Instrumen hedging yang tengah dibahas Dewan Syariah Nasional (DSN) tidak hanya untuk kebutuhan saat ini saja, tetapi juga untuk memfasilitasi pengembangan bisnis perbankan syariah di masa yang akan datang.

Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, Muhamad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, hedging syariah pada dasarnya adalah bentuk perlindungan nilai. Penggunaan hedging syariah harus murni untuk transaksi di sektor produktif.
Contoh, untuk nasabah yang mencicil pembiayaan menggunakan dolar, maka nasabah itu boleh memesan sejumlah dolar dengan kurs saat ini meskipun baru dibeli satu bulan lagi. ''Itu berarti ada hajat yang ingin dilakukan, tujuannya jelas,'' kata Nadra.

Instrumen hedging pun bukan hanya untuk saat ini saja, tapi untuk pengembangan usaha bank syariah di masa mendatang. Sebab sebenarnya kebutuhan akan instrumen itu telah ada. Meski belum banyak, Nadra mengatakan Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri sudah mulai masuk pasar internasional. Hedging tentu akan membantu mengurangi ketidakpastian yang tidak hanya menyulitkan perbankan, tetapi juga pemerintah.

Nadra yang juga pengurus DSN-MUI mengatakan, saat ini DSN-MUI tengah berdiskusi dengan otoriras untuk membirakan teknisnya. Ini penting agar fatwa murni digunakan untuk tujuan produktif bukan spekulatif.

Sumber : Republika, 8 Desember 2014

OJK: Standardisasi Akad Keuangan Syariah Penting

Standardisasi penyusunan akad atau kontrak, serta produk antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah sangat penting, salah satunya karena akad tersebut dapat menjadi pedoman dalam penyelesaian sengketa.

"Sekaligus standardisasi itu untuk menjadi panduan yang memudahkan bagi notaris dan pelaku industri jasa keuangan syariah," kata Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah OJK Setiawan Budi Utomo, dalam diskusi di The Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) di Jakarta, Kamis (20/11).

Setiawan mengatakan, dengan adanya standardisasi itu, pihak-pihak yang bersengketa memiliki acuan yang mengandung prinsip syariah dalam produk keuangan.

Selama ini, kata dia, jika terjadi sengketa antara lembaga keuangan dan nasabah, akad atau juga perjanjian syariah ternyata sering dinilai tidak sesuai dengan prinsip syariah. Akhirnya, perjanjian itu dibatalkan oleh Pengadilan Agama ataupun Badan Arbitrase Syariah Nasional MUI.

"Akad atau perjanjian itu juga kerap masih berpedoman pada produk keuangan konvensional, dan memang Sumber Daya Manusianya di lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mengerti syariah," ujar Setiawan.

Menurut Setiawan, standardisasi tersebut harus mengacu pada tiga hal yakni, pertama prosedur standar yang harus dijalankan lembaga jasa keuangan syariah dalam mengoperasionalkan produknya.

Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku, yang menjadi landasan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi yang dimuat harus disesuaikan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan prinsip syariah pada umumnya disamping prinsip kehati-hatian serta memenuhi standar 'market conduct'.

Selama ini, akad antara lembaga keuangan syariah dan nasabah disusun berdasarkan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Namun, akad itu juga harus sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Peraturan Mahkamah Agung.

Direktur Eksekutif IBFI Universitas Trisakti Muhamad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, selama ini implementasi dari akad bisnis keuangan juga berbeda oleh beberapa pihak.

Menurut dia, dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan, lembaga keuangan syariah seringkali kalah karena akad yang tidak sempurna aplikasinya dan juga tidak sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif.

Dia menekankan, dalam prinsip syariah, bukan hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai syariah, tetapi juga hubungan hukum dan akibat hukum yang timbul. "Termasuk, dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya," ujarnya.

Sumber : Republika, 20 November 2014

Jumat, 05 Desember 2014

IBFI Trisakti Menyelenggarakan Seminar Bertajuk “Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?”

Perkembangan bisnis keuangan syariah secara nasional menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan makin inovatifnya produk-produk keuangan syariah di Indonesia untuk mempercepat akselarasi bisnis. Inovasi produk keuangan syariah tentunya membutuhkan inovasi dari akad-akad yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah.

Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Muhamad Nadratuzzaman Hosen, praktek akad dengan bantuan Notaris yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia belum dinilai baik dan sempurna oleh berbagai pihak jelas, hal ini merupakan salah satu penyebab sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.

Dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah, lembaga keuangan syariah seringkali kalah di Pengadilan lantaran akad lembaga keuangan syariah yang kurang jelas aplikasinya serta kurang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif.

Padahal akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis. Ironisnya lanjut Nadra, implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antara satu bank dengan bank lainnya seringkali ditafsir secara berbeda oleh beberapa pihak. Untuk  itu  harus  ada  kesesuaian  antara  teori  dengan  praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di Lembaga Keuangan Syariah.

Padahal Nadra melanjutkan, prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan syariah saja, melainkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.

Melihat realitas inilah, pada hari Kamis, 20 November 2014, Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti menyelenggarakan seminar bertajuk “Perlu atau Tidakkkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?” yang dihadiri oleh narasumber Yuslam Fauzi (Ketua Umum Asosisi Bank Syariah indonesia (ASBISINDO)), Dr. Setiawan Budi Utomo (Kepala Bagian Pengembangan Produk dan Edukasi, Departemen Perbankan Syariah, Otoritas Jasa Keuangan), DR. H. Edi Riadi, SH, ,MH (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta), H. Abdul Ghoni, SH., MH (Panitera Muda Bidang Urusan Agama  Perdata, Mahkamah Agung Republik Indonesia), Norfadelizan Abdul Rahman  (Presiden Direktur Bank Maybank Syariah Indonesia), Ikhwan Abidin Basri, MA (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)) dan Ahmad Jauhari, SH., MH (Sekretaris  Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Sambutan Direktur IBFI Trisakti, Prof. Yuswar Zainul Basri

Ketua Umum Asbisindo (Yuslam Fauzi) Memberikan Keynote Speech

Dari Kiri ke kanan: Norfadelizan A. Rahman, Abdul Ghoni, Setiawan Budi Utomo, Ahmad Jauhari, Edi Riadi, Muhamad Nadratuzzaman Hosen

Antusiasme Peserta Seminar Mendengarkan Paparan Narasumber

Penyerahan Cenderamata untuk Pembicara oleh IBFI Universitas Trisakti

Rabu, 29 Oktober 2014

Perlu atau Tidakkkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?

Ada berbagai permasalahan hukum yang potensial timbul dalam praktek Lembaga Keuangan Syariah (LKS), antara lain bank syariah, asuransi syariah, multifinance syariah, koperasi syariah dan  Baitul maal Wattamwil, dengan nasabah. Kemungkinan sengketa biasanya berupa komplain karena ketidaksesuaian antara realitas dengan penawaran, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draf akad, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, serta komplain terhadap lambatnya proses kerja.

Lembaga Pengadilan merupakan jalan terakhir menyelesaikan sengketa jika jalur-jalur lain tidak berhasil menemukan solusi. Dalam banyak kasus sengketa di Pengadilan, Lembaga Keuangan Syariah seringkali kalah di Pengadilan melawan nasabah, hal ini disebabkan antara lain: akad Lembaga Keuangan Syariah yang kurang jelas aplikasinya, kurang sesuai dengan hukum Islam serta kurang sesuai dengan hukum positif.

Akad-akad yang ada di Lembaga Keuangan Syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis Lembaga Keuangan Syariah. Ironisnya implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antar Lembaga Keuangan Syariah seringkali ditafsir secara berbeda oleh masing-masing bank syariah. Untuk itu harus ada kesesuaian antara teori dengan praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di Lembaga Keuangan Syariah.
Perihal standarisasi akad apakah menjadi hal yang diharuskan untuk penyelesaian sengketa di Lembaga Keuangan Syariah. Hal ini menjadi penting mengingat adanya perbedaan mazhab yang diterapkan antar Negara, terlebih akan dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)pada tahun 2015 dan integrasi keuangan ASEAN tahun 2020.

Kita Akan Membahas Solusi dari Problematika ini Bersama-sama
Seminar dengan tajuk “Perlu atau Tidakkah Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Syariah?” mengundang para pakar yang berkompeten yang terdiri dari Regulator, Hakim, Praktisi dan Akademisi sehingga pada diskusi ini diharapkan dapat memberikan gambaran realitas penyelesaian sengketa di Pengadilan yang melibatkan Lembaga Keuangan Syariah serta memberikan pemahaman tentang perlunya standarisasi akad di Lembaga Keuangan Syariah. Output dari hasil diskusi ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap stakeholder di industri keuangan syariah.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Waktu dan tempat pelaksanaan seminar adalah sebagai berikut :
Hari, tanggal    : Kamis, 20 November 2014
Waktu             : 13.30 – 16.30 WIB
Tempat            : Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Kantor Taman E3.3 Blok C2, Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung Kawasan Mega Kuningan, Jakata Selatan

Narasumber
1.    Dr. Mulya Siregar (Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK))
2.    H. Abdul Ghoni, SH., MH (Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung RI)*
3.    Norfadelizan Abdul Rahman (Presiden Direktur Maybank Syariah)*
4.    Prof. Dr. Jaih Mubarok, SE., MH., M.Ag (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia)
5.    Yudo Paripurno, SH (Ketua Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS))
*dalam konfirmasi

BIAYA SEMINAR
1. Regular (pendaftar sampai 18 November 2014)  : Rp 500.000 per orang
2. Early Bird (paling lambat 10 November 2014)    : Rp 400.000 per orang
3. Tiga orang dari Instansi yang sama                      : Rp 350.000 per orang
4. Mahasiswa S1                                                   : Rp 100.000 per orang

• Pembayaran ditransfer melalui : Bank Syariah Mandiri DR. H. Yuswar Z.B QQ IBFI No. rek 101 00000 56
• Syarat sah menjadi peserta jika telah mengirimkan bukti transfer beserta form yang telah diisi lengkap dan telah diterima oleh panitia seminar

FORMULIR PENDAFTARAN DAPAT DIDOWNLOAD DISINI

Selasa, 07 Oktober 2014

OJK Dorong Penyiapan Sumber Daya Manusia Sektor Keuangan Syariah Berkualitas

Otoritas Jasa Keuangan menekankan pentingnya dukungan riset dan keterlibatan universitas dalam penyiapan SDM berkualitas. Ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan pengembangan sektor jasa keuangan syariah sehingga berkontribusi lebih besar bagi pembangunan ekonomi nasional.

Sebagai industri yang relatif baru bertumbuh, industri keuangan syariah nasional perlu ditopang oleh fungsi riset dan pengembangan yang berkualitas. Dengan demikian produk dan jasa keuangan syariah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin beragam, berdaya saing, dan memiliki efisiensi yang baik. Sehingga pada akhirnya industri keuangan syariah dapat berkontribusi secara optimal untuk dalam perekonomian nasional.

Hingga Agustus 2014 jumlah bank syariah tercatat sebanyak 12 bank, jumlah unit usaha syariah 22, BPRS sebanyak 163 bank, jaringan kantor 2.582, dengan total aset,  pembiayaan, dan penghimpunan DPK perbankan syariah (khusus Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) masing-masing adalah sebesar Rp251,26 trilyun, Rp193,31 triliun, dan Rp194,64 triliun.

Sementara perkembangan untuk sukuk korporasi sampai Agustus 2014, total mencapai Rp12,29 triliun,  yang terdiri dari 65 emisi sukuk, dengan oustanding Rp6,96 triliun atau 3,17 persen market share emisi saham di bursa.

Untuk nilai Reksadana Syariah total NAB tercatat sebesar Rp9,64 triliun dengan jumlah reksadana 66 unit, atau 4,51 persen dari total nilai aktiva bersih reksadana industri. Sedangkan Daftar Efek Syariah tercatat sebanyak 326 Saham Syariah, dengan nilaiRp2.955,8 triliun atau 58,6 persen dari total nominal keseluruhan daftar efek.

Sementara aset Asuransi Syariah hingga Mei tercatat Rp19,26 triliun atau 4,25 persen dari nilai aset industri asuransi nasional. Saat ini terdapat 49 perusahaan asuransi syariah atau bertambah 8.9% dibanding 2013. Sedangkan jumlah Perusahaan Pembiayaan Syariah saat ini 48 perusahaan dengan total aset Rp24,95 triliun atau 5,51 persen nilai aset industri pembiayaan.

Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Perbankan 1 Mulya E Siregar mengatakan dari perkembangan industri keuangan syariah tersebut terlihat bahwa area riset keuangan syariah masih sangat luas untuk dikembangkan. Sehingga akademisi dan peneliti di bidang ini perlu ditingkatkan jumlah dan kualitasnya agar dapat mengimbangi laju kebutuhan industri keuangan syariah yang semakin tumbuh cepat.

OJK memandang penting berbagai upaya untuk meningkatkan minat dan kualitas riset keuangan syariah di kalangan peneliti dan akademisi yang saat ini mulai bertumbuh namun masih belum maksimal.

Oleh karena itu, OJK melaksanakan inisiatif penyelenggaraan Forum Riset Keuangan Syariah (FRKS) 2014 bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ditunjuk sebagai host university. FRKS 2014 dilaksanakan pada 14 hingga. 16 Oktober 2014 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat dengan tema: Mewujudkan Industri Keuangan Syariah yang Efisien, Berdaya Saing dan Berkontribusi Lebih Besar dalam Pembangunan Ekonomi Nasional.

OJK memandang penting dukungan fungsi riset dan keterlibatan universitas untuk penyiapan SDM berkualitas dalam rangka unlocking the potential melalui upaya inovasi yang kreatif, baik terkait dengan produk, channel distribusi, kualitas layanan dan pengembangan infrastruktur pendukung sistem keuangan syariah.

Penunjukan IPB sebagai mitra kerjasama dan host university penyelenggaraan FRKS 2014 selain sebagai penghargaan atas reputasi dan komitmen kuat unsur-unsur civitas acedemica IPB dalam menumbuhkembangkan penelitian dan pengajaran ekonomi dan keuangan syariah, juga dengan harapan IPB dapat menjadi centre of excellent dalam penelitian dan pengajaran ekonomi dan keuangan syariah di tanah air.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto menyambut baik ajakan OJK untuk kolaborasi pelaksanaan FRKS 2014.  IPB selama ini aktif mengembangkan pengajaran ekonomi dan keuangan syariah, dan melaksanakan aktivitas penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat pada bidang ini. IPB telah memiliki program studi ekonomi syariah bernaung dibawah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.Selain itu Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB juga aktif melaksanakan penelitian, seminar dan kerjasama kelembagaan di bidang ekonomi dan keuangan syariah.

Acara pembukaan FRKS diharapkan dihadiri oleh Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad dan Rektor IPB Herry Suhardiyanto. Selain itu akan hadir juga Gubernur Provinsi Jawa Barat Ahmad Heryawan yang akan menyampaikan keynote speech mengenai peran pemerintah daerah dalam memajukan keuangan syariah di daerah.

Senin, 29 September 2014

Program Pendidikan Bahasa Arab Ekonomi & Keuangan Islam

Sistem keuangan Islam merupakan sistem yang dibangun berlandaskan Aqidah, Akhlak, Syariah dan Al Qur’anul karim. Dalam memahami keuangan Islam yang berlandasakan Al Quran & Hadist, Bahasa Arab yang mumpuni sangat dibutuhkan terutama dalam hal memahami fiqh muamalah yang merupakan esensi penting dari keuangan Islam. Islamic Banking & Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti membuka Program Pendidikan Bahasa Arab untuk Ekonomi & Keuangan Islam dengan dengan sasaran masyarakat umum dan terutama mahasiswa S1/S2/S3 di bidang ekonomi & keuangan Islam.

Program Pendidikan Bahasa Arab Ekonomi & Keuangan Islam yang diadakan oleh IBFI, Universitas Trisakti memfokuskan pada aplikasi bahasa arab dalam ekonomi dan keuangan Islam. Diharapkan pelatihan ini dapat memberikan keterampilan berbahasa arab bagi setiap peserta agar dapat menjadi bekal dalam pengembangan ekonomi dan keuangan Islam Kelak.

Waktu   :  Selasa, Pukul 18.30 s.d 21.30 WIB
Tempat  :  Islamic Banking & Finance (IBFI), Universitas Trisakti Menara Anugrah, Kantor Taman E3.3 Blok C2, Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Level     :  Basic, Intermediate, Advance
Durasi    :  2 bulan per level
Biaya     :  Rp 2,5 juta per level
Fasilitas  : Ruang kelas ber-AC, modul, konsumsi

Informasi Lengkap:
Sdr. Syafaat Muhari/Sdri. Sulis Fitrianti
Tlp : 021-5764373, HP. 0813 8378 9184
Fax: 021-5764572
Registrasi online di www.ibfi-trisakti.ac.id
Email: admission@ibfi-trisakti.ac.id; syafaatmuhari@ymail.com;
sulis_fitrianti@yahoo.com

Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Bekerjasama dengan The Ibrahim Hosen Institute (IHI) menyelenggarakan seminar “Potensi Konflik Sosial Ekonomi Antara Sunni – Syiah dalam Perspektif Internasional dan ISIS”


Setelah sukses menyelenggarakan seminar yang bertema Peluang dan Tantangan Pengembangan Komoditi Syariah di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN kerjasama dengan PT. Bursa Berjangka Jakarta/Jakarta Future Exchange pada 19 Juni 2014 lalu, kini IBFI Trisakti kembali menyelenggarakan seminar yang bertajuk “Potensi Konflik Sosial Ekonomi Antara Sunni – Syiah dalam Perspektif Internasional dan ISIS” kerjasama dengan The Ibrahim Hosen Institute (IHI) pada kamis, 18 September 2014. Acara tersebut dibuka oleh Direktur Eksekutif IBFI Trisakti Ir. Muhamad Nadratuzzaman Hosen, MS., M.Ec., Ph.D dan diantara narasumber yang hadir Prof. Dr. Mohammad Baharun, MA (Dewan Pakar IHI), Cholill Nafis, Lc, M.A., Ph.D (Sekretaris Pusat Kajian Timur Tengah Indonesia Universitas Indonesia) dan Dr. Muslih Nashoha, MA (Anggota Dakwah Majelis Ulama Indonesia Pusat). Seminar ini diikuti oleh perwakilan dari Bank-bank syariah, asuransi syariah, ormas-ormas islam, akademisi, tenaga pengajar Lemhanas,  tenaga professional lemhanas dan alumni Lemhanas, . Dengan adanya seminar ini diharapkan dapat mencegah penularan paham dan gerakan konflik ISIS dari Timur Tengah Ke Indonesia di tengah maraknya propaganda ISIS serta menumbuhkan kesadaran setiap elemen masyarakat akan adanya potensi konflik sosial antara sunni dan syiah yang mungkin berdampak diantaranya pada perkembangan ekonomi syariah.

Sambutan Direktur Eksekutif IBFI Trisakti - Ir. Muhamad Nadratuzzaman Hosen P.hD.

Dari Kiri Ke Kanan: Prof. Baharun, Dr. Nadjmatul Faizah, Dr. Muslih Nashoha, Dr. Cholil Nafis.

Peserta Seminar Antusias Berdiskusi dengan Para Narasumber



Selasa, 12 Agustus 2014

Bank BUMN Syariah Penting

Indonesia patut berbangga karena perbankan syariah dalam negeri telah menduduki peringkat kelima terbesar dunia. Indonesia berdiri dibawah Iran, Malaysia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Namun satu hal yang mengkhawatirkan adalah Indonesia akan menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Meski keterbukaan industri perbankan baru terjadi di 2020, hal ini tak bisa dianggap enteng. Apalagi, saat ini belum ada bank syariah yang bisa menduduki posisi Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III. BUKU III memiliki mpdal Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun.

Pengamat ekonomi syariah M Nadratuzzaman Hosen mengatakan, Indonesia, Khusunya perbankan syariah, butuh bank besar untuk pasang badan. Lebih tepatnya ketika berhadapan dengan bank raksasa konvensional. Satu hal yang perludiketahui menjelang 2020, kata Nadratuzzaman, yang juga Direktur EKsekutif Islamic Banking adn Finance Institute Universitas Trisakti, hanya bank besar yang bisa bertahan. Sementara, berdasarkan rata-rata bank syariah belum memenuhi economies of scale (skala ekonomi). "Dengan kata lain, masih sangat minim bank syariah yang bisa memberikan angka pembiayaan yang murah," tuturnya.

Nadratuzzaman mengemukakan, sebenarnya ada satu petunjuk yang memperlihatkan bahwa bank syariah belum memenuhi skala ekonomi. Contohnya yaitu bank konvensional yang telah efisien ketika membuka cabang, maka keuntungannya meningkat. Sementara pada saat yang sama, jika bank syariah membuka cabang, keuntungannya justru menurun.

Karena itu, ia menegaskan, ada dua hal mengenai betapa pentingnya kehadiran bank BUMN syariah. Pertama, kehadiran bank BUMN syariah penting untuk mendorong pangsa pasar syariah. Kedua, agar perbankan syariah siapa menghadapi MEA 2020. Ia mengatakan, yang menjadi perdebatan saat ini adalah opsi pendirian. Opsi pertama, menurut dia adalah dengan melakukan penggabungan anak usaha syariah BUMN.

Kedua, menurut dia mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah. Opsi yang pernah diajukan adalah mendorong bank BTN (Persero) Tbk menjadi lembaga syariah. Hanya saja, opsi kedua mengandung resiko yang lebih besar, khususnya mengubah sistem, kontrak dengan berbagai perusahaan dan kemampuan SDM. "Jadi seperti membawa masalah saja," tuturnya. Sehingga, merger menjadi pilihan tepat untuk mendirikan BUMN Syariah. Opsi terakhir adalah mendirikan bank BUMN Syariah baru dengan cara menahan seluruh laba BUMN sehingga dibentuk bank syariah.

Pertengahan 2013, Meneteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan pemerintah sedang mengusahakan pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bank syariah di Indonesia. Upaya pembentukan BUMN bank syariah ini kebetulan bersamaan dengan dibuatnya ketentuan perundang-undangan bahwa seluruh dana haji ditampung di bank syariah. Sementara, Deputi Meneteri Bidang Jasa Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan, ada tiga opsi pembentukan BUMN syariah, yaitu mengonversikan salah satu bank BUMN menjadi BUMN syariah, meleburkan tiga anak usaha bank BUMN menjadi bank BUMN syariah, atau membuat bank baru.

Namun, sebelum mencoba salah satu opsi itu, kementerian BUMN akan meningkatkan likuiditas salah satu anak usaha Bank BUMN. Setelah itu, bank syariah baru mengambil langkah selanjutnya. "Setelah itu, kami akan bahas. Yang penting bisa memberikan optimal," ujarnya. Dari ketiga anak usaha bank BUMN, yang paling mungkin mencapai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III adalah PT Bank Syariah Mandiri (BSM).

Sumber: Republika, Selasa, 12 Agustus 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Lembaga Keuangan Syariah harus Manfaatkan Komoditi Syariah

Perkembangan bisnis keuangan syariah dunia semakin maju dengan pesat. Hal ini ditandai dengan berbagai macam inovasi, di antaranya adalah pengembangan produk komoditi syariah.

Komoditi syariah merupakan mekanisme perdagangan di bursa komiditas. Khususnya untuk mengakomodir underlying transaksi berbasis murabahah bagi industri keuangan syariah.

Sayangnya, saat ini lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan masih sangat minim memanfaatkannya. Padahal, menurut Research and Development Officer PT Bursa Berjangka Jakarta, Isa Abiyasa Djohari, komoditi syariah hadir karena kebutuhan yang meningkat.

Tak heran, Dewan Syariah Nasional pun mengeluarkan fatwa nomor 82/2011. Apalagi, komoditi syariah menggunakan sistem murabahah (jual-beli). ''80-90 persen bank syariah di dunia menggunakan akad ini,'' tutur dia dalam diskusi Pengembangan Komoditi Syariah di Era Masyarakat Ekonomi Asean, pekan lalu.

Selain itu, tetangga dekat Indonesia, yaitu Malaysia sudah memiliki bursa Suq Al Sila (Komoditi syariah). Malaysia saat ini berupaya mempromosikan bursanya ke seluruh dunia.

Sepatutnya, tutur dia, Indonesia juga memanfaatkan komoditi syariah sebagai salah satu alat menjaga likuiditas. Indonesia, tutur dia, memiliki potensi besar berupa nilai komoditi yang tinggi dan jumlahnya sangat banyak. Hal ini bisa menjadi daya tarik bagi institusi keuangan syariah asing. "Komoditi syariah juga mendukung sektor riil, khususnya pelaku usaha komoditi yang memanfaatkan potensi komoditi ini," ucap dia.

Intinya, menurut dia ketika komoditi syariah dimanfaatkan dengan baik maka bisa menghasilkan transaksi yang besar. Dimana transaksi ini dapat meningkatkan daya saing industri keuangan syariah untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Memang di era MEA, perluasan cakupan komoditi syariah memiliki potensi besar. Khususnya jika menarik institusi keuangan syariah asing dan bermanfaat bagi pelaku usaha komoditi.Hanya saja, bagi lembaga keuangan syariah akan lebih optimal kalau mendapat izin menggunakan mata uang asing di komoditi syariah. Di sisi lain, komoditi syariah akan semakin besar jika bank konvensional bisa berpartisipasi di dalamnya.

Minggu, 06 Juli 2014

Bank Syariah Belum Manfaatkan Komoditi Syariah

Indonesia telah memiliki instrumen komoditi syariah sebagai salah satu alternatif bagi bank syariah dalam mengelola likuiditasnya. Sayangnya instrumen ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh bank syariah.

Spesialis Kebijakan dan Standar Internasional Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Setiawan Budi Utomo, mengatakan industri perbankan syariah memiliki instrumen pasar uang yaitu sertifikat perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah antar bank (SIKA), tapi sayangnya tidak jalan. “Sebelumnya ada Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, lalu saat menginginkan yang fixed return ada SIKA, tapi itu tidak jalan,” kata Setiawan.

Pendapat senada disampaikan Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Muhammad Nadrattuzaman Hosen. Ia mengatakan komoditi syariah belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh industri keuangan syariah di Indonesia. Hal ini disebabkan pihak regulator yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan ijin keleluasaan praktek bisnis komoditi syariah.

Padahal, lanjut Nadra, secara kajian Fiqh tentang komoditi syariah sudah sejak awal direspon positif oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) dengan dikeluarkannya fatwa baru nomor 82 tahun 2011 tentang mekanisme bursa berjangka komoditi berdasarkan prinsip Islam. Begitu juga dengan kelembagaan, telah berdiri Futures Exchange (JFX) yang berdiri pada tanggal didirikan pada tanggal 19 Agustus 1999. “Dengan realitas ini sudah saatnya komoditi syariah berjangka di Indonesia sudah bisa berjalan seperti negara lain,”ungkapnya.

Dengan belum maksimalnya bisnis komoditi syariah di Indonesia yang disebabkan oleh faktor lambanya regulator, lanjut Nadrattuzaman, lembaga keuangan syariah akan memilih bertransaksi komoditi syariah keluar negeri. “Kemungkinan ini bisa terjadi apalagi menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN yang sudah didepan mata. Ada kemungkinan lembaga keuangan syariah Indonesia bertransaksi dengan Bursa Suq Al-Sila’ Malaysia yang selama ini telah mengembangkan komoditi komoditi syariah,” tukas Nadrattuzaman.

Alternatif Pembiayaan Usaha
Di sisi lain, Sharia Product Development Specialist PermataBank Syariah, Zwei Munici Mukhlis, mengatakan komoditi syariah menjadi peluang alternatif pembiayaan usaha, karena lebih ‘market friendly’ bagi nasabah untuk memperoleh likuiditas usaha. Selain itu, lanjutnya, nasabah tidak direpotkan untuk menyediakan underlying pencairan/proyeksi bagi hasil dan tidak ada lag time antara kebutuhan likuiditas nasabah dengan pencairan fasilitas bank. “Produk yang cocok untuk diaplikasikan menggunakan akad komoditi syariah adalah pembiayaan likuiditas usaha,” kata Zwei.

Menurutnya, tidak bisa dipungkiri kebutuhan nasabah saat ini adalah pembiayaan tunai. “Yang penting transaksi ini melalui kegiatan sesuai syariah yang sudah ada fatwanya. Ini akan memecahkan masalah underlying aset yang selama ini dipakai di murabahah,” ujar Zwei. Kini PermataBank Syariah juga tengah menggodok produk baru terkait komoditi syariah.

Zwei menambahkan agar produk ini lebih market friendly dalam operasionalnya maka diperlukan kemudahan dari regulator agar semua urusan dengan BBJ dapat dilakukan melalui infra yang sama jadi tidak saling merepotkan, jadi nasabah dapat bertransaksi dengan BBJ menggunakan mesin dan fasilitas transaksi yang tersedia di bank. Namun ini masih butuh pembahasan lagi.


Sumber : MySharing.co

Rabu, 02 Juli 2014

Jelang MEA, Bursa Komoditi Syariah jadi hal yang Mutlak

Masyarakat Ekonomi ASEAN telah menjelang. Setiap negara dan elemen yang terdapat didalamnya tengah menyiapkan diri untuk dapat bersaing dengan negara lainnya. Industri keuangan syariah Indonesia pun bersiap diri. Salah satu yang ditekankan adalah mengenai bursa komoditi syariah.

Spesialis Kebijakan dan Standar Internasional Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Setiawan Budi Utomo, menuturkan menjelang era Masyarakat Ekonomi ASEAN bursa komoditi syariah mutlak diperlukan karena untuk ke depan pengembangan produknya diperlukan agar bisa bersaing, hanya tinggal positioning saja. “Bagaimana undang investor asing kalau tidak ada produknya disini? Kita harus menyiapkan itu semua,” ujar Setiawan, dalam Seminar Peluang dan Tantangan Pengembangan Komoditi Syariah di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kamis (19/6).

Selain itu, menghadapi MEA perbankan syariah juga dituntut untuk meningkatkan pelayanan agar setara dengan bank konvensional, meningkatkan infrastruktur setara dengan perbankan konvensional dan juga harus meningkatkan variasi dan inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sementara, Research and Development Officer Bursa Berjangka Jakarta, Isa Abiyasa Djohari, mengatakan di Malaysia sudah ada Bursa Suq Al Sila yang mengkhususkan pada komoditi syariah, oleh karena itu komoditi syariah Indonesia pun harus punya daya saing. “Kita punya potensi besar nilai komoditi yang tinggi dan jumlahnya banyak, maka ini bisa menjadi daya tarik bagi investasi asing, dan meningkatkan volume transaksi. Kalau punya daya saing maka bisa kemana-mana,” ujar Isa. Selain itu, lanjutnya, juga bisa meningkatkan potensi manfaat bagi pelaku usaha komoditi yang dimanfaatkan oleh komoditi syariah.

Isa pun menambahkan bahwa komoditi syariah memiliki potensi manfaat bagi sektor riil, dimana pelaku usaha akan memperoleh pelebaran akses pasar, dan memberikan manfaat tambahan bagi komoditi idle yang tersimpan di gudang pelaku usaha komoditi. “Bila komoditi syariah bisa dimanfaatkan dengan baik, besarnya nilai komoditi di Indonesia berpotensi menghasilkan nilai transaksi yang besar, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri keuangan syariah untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN,” kata Isa.

Bagi lembaga keuangan syariah, Isa memaparkan komoditi syariah memiliki sejumlah manfaat untuk pembiayaan, pasar uang antar bank syariah, dan islamic profit rate swap. “Untuk potensi perluasannya kalau komoditi syariah dapat izin penggunaan mata uang asing maka cross currency swap bisa dilakukan,” kata Isa. Jakarta Futures Exchange merupakan bursa berjangka pertama di Indonesia, yang memiliki sistem perdagangan berjangka, sistem lelang komoditi fisik dan sistem komoditi syariah.


Sumber : MySharing.co

Minggu, 29 Juni 2014

Pemanfaatan Komoditi Syariah Belum Optimal

Metrotvnews.com, Jakarta: Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 82 Tahun 2011 tentang Mekanisme Bursa Berjangka Komoditi berdasarkan prinsip Islam belum dimanfaatkan oleh industri keuangan syariah di Indonesia.

Direktur Eksekutif Islamic Banking dan Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Muhammad Nadrattuzaman Hosen mengatakan, lembaga keuangan syariah dalam negeri memilih bertransaksi komoditi ke luar negeri. Hal itu disebabkan belum optimalnya bisnis komoditi syariah di Indonesia.

"Dengan belum maksimalnya bisnis komoditi syariah di Indonesia yang disebabkan oleh faktor lambannya regulator," ujarnya pada seminar bertajuk 'Peluang dan Tantangan Pengembangan Komoditi Syariah di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)' yang diselenggarakan Islamic Banking dan Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti, Jakarta, Kamis (19/6/2014).

Menurutnya, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan izin keleluasaan praktek bisnis komoditi syariah. Padahal Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange/JFX) memiliki sistem perdagangan berjangka, lelang komoditi fisik, dan komoditi syariah.

Kalimat senada juga diungkapkan Bendahara Asosiasi Bank Syariah Indonesia Rizqullah. Dia menuturkan belum optimalnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No 82 Tahun 2011 Tentang Mekanisme Bursa Berjangka Komoditi berdasarkan prinsip Islam. "Sepertinya kurang menunjukkan greget di dalam prakteknya," ucapnya.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 82 Tahun 2011 tentang Mekanisme Bursa Berjangka Komoditi Berdasarkan Prinsip Islam, menurutnya, membantu perbankan syariah untuk mengelola likuiditas. Selain itu, aturan ini bertujuan untuk memberikan lindung nilai dengan swapping.

Menurut Rizqullah Fatwa DSN-MUI Nomor 82 Tahun 2011 ini akan membantu perekonomian nasional. "Jadi komoditas bukan hanya meningkat secara kuantitas, namun juga bagi entrepreneur atau pedagang bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian yang lebih baik," kata dia.

Kamis, 26 Juni 2014

Komoditi Syariah Belum Dimanfaatkan Secara Maksimal

Perkembangan bisnis syariah global tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan ditandai dengan berbagai macam inovasi-inovasi produk untuk menguatkan  akselerasi bisnis.

Diantaranya adalah pengembangan produk komoditi syariah. Komoditi syariah berkembang pesat di beberapa negara, khususnya Malaysia. Hal ini dikarenakan di komoditi syariah tersebut, bisa dimanfaatkan oleh lembaga keuangan terutama bank syariah sebagai alternatif dalam manajemen  likuiditas.

Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif  Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Muhammad Nadrattuzaman Hosen, komoditi syariah belum bisa dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Hal ini disebabkan pihak regulator yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan ijin keluluasaan praktek bisnis komoditi syariah.

Padahal, lanjut Nadra, secara  kajian Fiqh tentang komoditi syariah sudah sejak awal direspon positif oleh  Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUI). Respon tersebut berupa fatwa baru nomor 82 tahun 2011 tentang mekanisme bursa berjangka komoditi berdasarkan prinsip Islam.

Sementara wadahnya, yaitu lembaga telah berdiri Futures Exchange (JFX) yang berdiri pada tanggal didirikan pada tanggal 19 Agustus 1999. "Dengan realitas ini sudah saatnya komoditi syariah berjangka di Indonesia  sudah bisa berjalan seperti negara lain,"ungkap dia, Kamis (19/6).

Ia pun menilai belum maksimalnya bisnis komoditi syariah di Indonesia disebabkan oleh faktor lambannya regulator. Ia pun khawatir, lembaga keuangan  syariah akan memilih bertransaksi komoditi syariah keluar negeri.

Kemungkinan ini terjadi apalagi, menghadapi masyarakat ekonomi  ASEAN yang sudah didepan mata. Ada kemungkinan lembaga keuangan syariah Indonesia bertransaki dengan  Bursa Suq Al-Sila’ Malaysia yang selama ini telah mengembangkan komoditi komoditi syariah.

Ia juga menilai persoalan komoditas syariah merupakan isu yang sangat urgent bagi akselerasi perbankan syariah dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Sekaligus mempertanyakan peran regulator yang masih lamban dalam menyikapi pengembangan bisnis  komoditi syariah.

Sumber : Republika Online