Sayangnya, praktek akad dengan bantuan notaris yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia belum dinilai baik dan sempurna oleh berbagai pihak. Menurut Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI), Universitas Trisakti, M Nadratuzzaman Hosen, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.
“Dalam banyak kasus sengketa di pengadilan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah, lembaga keuangan syariah seringkali kalah di pengadilan lantaran akad lembaga keuangan syariah yang kurang jelas aplikasinya serta kurang sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif,” ujar Nadratuzzaman dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.
Padahal, lanjut Nadra, akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan landasan bagi berjalannya bisnis. Namun, ironisnya implementasi dari akad-akad yang diaplikasikan antara satu bank dengan bank lainnya seringkali ditafsir secara berbeda oleh beberapa pihak. “Untuk itu harus ada kesesuaian antara teori dengan praktek tentang aplikasi akad-akad yang digunakan di lembaga keuangan syariah,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ikhwan Abidin Basri, menilai pada dasarnya standarisasi surat perjanjian kontrak diperlukan karena memudahkan semua pihak dalam memahami ketentuan yang ada dalam akad, serta menyeragamkan semua akad.
Di lain pihak, tambahnya, standarisasi juga akan memudahkan regulator dalam memahami dan menjalankan fungsi regulator dan mengawasi operasional akad pada masing-masing lembaga keuangan syariah. “Standarisasi akad ini juga akan memudahkan notaris, hakim, arbitrer dalam memahami akad dan membantu memudahkan dalam pembuatan keputusan,” ungkap Ikhwan.
Sumber : Sharing, 20 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar