Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, Setiawan Budi Utomo, menuturkan jika suatu akad tidak dibuat dengan menggunakan konstruksi yang ditetapkan DSN-MUI, maka akad tersebut menjadi akad yang cacat hukum dan lemah yang nantinya berpotensi untuk dibatalkan demi hukum.
“Ada asumsi bahwa perjanjian standar yang dirancang oleh perbankan syariah belum sepenuhnya mencerminkan ketentuan muamalah syariah secara substantif sebagaimana ditetapkan dalam fatwa DSN karena adanya beberapa klausul perjanjian masih dipengaruhi atau berpedoman pada perjanjian produk perbankan konvensional,” katanya dalam Seminar Standarisasi Akad di Lembaga Keuangan Syariah, Kamis (20/11) di IBFI, Universitas Trisakti.
Setiawan memaparkan standardisasi produk jasa keuangan syariah secara prinsip mengacu pada tiga hal. Pertama, prosedur standar berupa Standard Operating Procedure (SOP) yang harus ditempuh oleh lembaga penyedia jasa keuangan syariah dalam operasional produknya. Kedua, pedoman standar dalam menyusun kontrak baku yang akan digunakan dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Ketiga, cakupan standar materi atau substansi yang harus dimuat dalam klausul perjanjian yang disesuaikan dengan fatwa DSN-MUI dan prinsip syariah pada umumnya, di samping prinsip kehati-hatian, good governance serta memenuhi standar market conduct.
Menurutnya, standarisasi produk jasa keuangan syariah yang secara praktis dapat digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian sengketa dalam kontrak bisnis syariah, sekaligus sebagai panduan yang memudahkan para notaris dan pelaku keuangan syariah. Dengan demikian, kepatuhan dan kesesuaian terhadap prinsip syariah dapat dijamin untuk melindungi kepentingan dan keadilan bagi semua pihak.
Sumber : MySharing, 20 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar